Segala Keberadaan menuju Ketiadaan Segalanya (selain DiriNya)


Tugas 5 Ontologi Filsafat
Tema : Hubungan Persepsi, Individuasi, Wujud
Judul : Segala Keberadaan menuju Ketiadaan Segalanya (selain DiriNya)
Oleh  : Eka Rofiyani


(Santri Ontologi Filsafat Pondok Pesantren Mahasiswa Madrasah Muthahhari Yogyakarta)

Bismillahirrahmaanirrahiim…
Allohumma shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammad, Wa’alaa aalii sayyidinaa Muhammad..

  Dari segala keberadaan menuju ketiadaan segalanya selain diriNya adalah sebuah gerakan subtansi yang secara niscaya pemahaman manusia mampu untuk sampai pada titik itu. Secara fitrawi perjalanan manusia dalam gerak subtansialnya berjalan mengarah kepadaNya, baikpun manusia sadari maupun tidak. Namun, bagi jiwa-jiwa yang gandrung, seorang manusia akan mencari dan menempuh jalan - jalan untuk menuju kepadaNya lebih cepat mengingat kerinduanya dan waktu yang dimiliki untuk hidup didunia ini hanya sementara. Pahaman kita menangkap bahwa gerak subtansial itu dapat diintervensi, sebagaimana dicontohkan pada buah mangga, mangga suatu saat tanpa diintervensi pun akan matang dengan sendirinya, namun agar prosesnya menjadi lebih cepat maka kita seringkali mengitervensinya dengan mengkarbit mangga agar lekas matang sempurna dan dapat dirasakan kenikmatanya. Begitu pun manusia sebagai bagian dari alam dengan tingkat gradasi yang mungkin lebih tinggi dibanding ciptaan yang lain pun menjalani gerak subtansial. Gerak subtansi manusia terletak pada aktualisasi dari potensi jiwa yang dia miliki.  Dalam tulisan William Chittick tentang persepsi dalam pemikiran Mulla Shadra dikatakan bahwa “Jiwa manusia secara sederhana dapat dijelaskan sebagai “keseluruhan potensi”. Artinya manusia dapat melampaui potensi jiwa tumbuhan, hewan dll, hingga mencapai tingkatan tertinggi yang dapat dicapai dalam penyempurnaan manusia sebagai ahsani taqwim (ciptaan yang sempurna) melalui bekal-bekal yang dimiliki berupa fakultas-fakultas dalam diri manusia (dlm konteks ini adlah indra - jiwa - akal).
Titik kunci dalam gerakan jiwa dari potensinya (untuk mengetahui) menuju aktualitasnya (pahaman akal)  adalah kesadaran jiwa, kemudian diikuti oleh persepsi indra (perjumpaan dengan fisik) dan persepsi jiwa (R1/perjumpaan dengan bentuk) kemudian ditajrid (pelepasan) hingga sampai pada akal inteleksi (R2/perjumpaan dengan hakikat) yang memahami secara huduri (tanpa konsep). Ketika jiwa telah mencapai aktualitasnya, maka dia bukan lagi jiwa melaikan akal. Tanpa kesadaran diri untuk mengetahui maka potensi jiwa untuk menjadi akal tidak tercapai. Sebagai contoh ketika kita melewati sebuah jalan, kita melihat, tapi tidak mengetahui/menyadari bahwa ditepian jalan itu terdapat bunga yang sangat indah. Itu karena kesadaran kita tidak tertuju pada bunga sehingga kita tidak mengetahui apapun. Seandaikan jiwa kita sadar dalam menangkap kehadiran bunga, maka itulah menjadi titik awal pengetahuan kita tentang bunga. Oleh karena itu kesadaran disebut sebagai pemahaman yang tidak stabil. Setiap hari kita bertemu dengan Tuhan, namun karena kesadaran kita tidak tertuju pada itu, maka kita tidak mengetahui apapun.
Jiwa yang sadar kemudian akan melahirkan persepsi. Tingkatan pertama adalah persepsi indra. Yaitu persepsi yang dihasilkan oleh hubungan antara alam dan indra. Disini terjadi perjumpaan/hudhuri antara jiwa dengan hal-hal fisik. Persepsi indra ini bukanlah yang hakiki karena dia dapat muncul ketika kita berhubungan langsung dengan esensinya. Persepsi indra ini adalah setara dengan maujud, yaitu ketika kita berhubungan dengan mahiyah dan wujud yang saling terikat. Atau setara dengan individuasi mahiyah, yaitu ketika esensi diletakan kepada keberadaan yang mengindividu. Ketika kita mempersepsi secara indra, maka kita sedang berdiri dalam gradasi alam wujud pertama yang paling rendah.
Manusia dengan geraknya, mampu menghadirkan objek pahaman didalam dirinya atas apa yang dia persepsi secara indra. Objek yang dipahami akal bukanlah materi yang masuk ke benak kemudian kita pahami, namun Rasio 1 dalam hal ini adalah fakultas jiwa melepaskan (tajrid) sisi materi dan menghadirkan bentuk. Inilah persepsi imaji. Hal-hal yang kita persepsi melalui indra, kita urai, kita kategorikan, kita konsepsi, kita kostruksi dengan imajinasi kita. Baik persepsi imaji maupun indra sama-sama menangkap hal-hal partikular dan msih berhubungan ,baik secara langsung maupun tidak dengan materi. Pada tahap ini (alam imaji), kita telah memasuki tingkatan gradasi alam wujud yang lebih tinggi dari alam indra. Ini adalah alam peralihan dari indra menuju akal.
Kemudian untuk mencapai perjumpaan/hudhuri yang hakiki, maka kita harus kembali mentajrid/melepaskan bentuk-bentuk dalam alam imaji menuju pemahaman hakiki yang terlepas dari materi dan bentuk / segenap karakter indrawi yang melekat padanya.
Dalam Hubunganya denga wujud, untuk mengetahui hakikat diriNya, kita berangkat dari kesadaran diri kita untuk mengetahui tentang Dia. Setiap hari kita bertemu dengan Dia dimanapun kita secara indra berjumpa dengan mahiyah, namun, tanpa kesadaran untuk menangkap apa dibalik tampakan fisik yang kita lihat setiap hari, maka selamanya kita akan berada dalam alam indra/fisik. Namun untuk mengenalNya, kita memulai dari berhubungan dengan segala sesuatu dialam/  mahiyah-mahiyah itu. Kemudian kita membawa persepsi indra kita dengan maujud dialam indra menuju alam imajinal. Kita akan menemukan bahwa dibalik maujud-maujud itu ada wujud yang membersamai. Namun persepsi imajinal kita masih berupa wujud kopulatif yang terikat dengan hal-hal diluar. Jiwa yang mampu mempersepsi wujud kopulatif dalam imajinya, memiliki potensi untuk menemukan wujud subtanrif melalui proses tajrid/pelepasan dari semua atribut-atribut alam yang melekat pada wujud itu. Untuk dapat menemukan wujud subtantifnya, yaitu wujud sebagaimana wujud yang hakiki, kita harus masuk ke tingkatan gradasi alam wujud yang lebih tinggi. Ketika kita telah mengaktualkan potensi jiwa itu menuju esensinya atau membawa wujud sampai pada tingkatan akal aktual, maka hipotesisnya, disanalah wujud subtantif hadir dan kita akan menyaksikan atau bertemu denganNya. Wujud subtantif akan hadir Karna wujud subtantif itu memiliki karakter yang terlepas dari segala materi dan bentuk. Disinilah kita harus membunuh persepsi yang mengantarkan kita pada pemahaman ini. Karena jika kita bersandar pada persepsi indra, betapa banyak kehakikian-kehakikian ditutupi oleh keterbatasan indra kita. Jika kita bersandar pada konstruksi jiwa (imajinasi), jiwa-jiwa yang kotor pula akan menutupi kehakikian dari apa-apa yang kita persepsi.
Perantara dari wujud subtantif menuju kopulatifnya adalah individuasi. Ketika wujud mengindividuasi, kemudian dilekati mahiyah terjadilah individuasi mahiyah. Dilihat dari sisi mahiyahnya, kita akan menemukan keberagaman yang tidak mungkin terjadi penyatuan. Namun dari sisi dia sebagai individu, semua yang banyak itu adalah tunggal sebagai individu, seberagam apapun, individu-individu ini memiliki posisi yang sederajat sebgagai individu.   Individu mau diurai sampai sekecil apapun, setiap uraianya, masing-masing adalah individu. Sampai pada materi primer yang tak terdeteksi, tak terbatas dan dikatakan tak dapat diurai lagi, itupun adalah individu. Individu dalam tataran seuniversal apapu tetaplah individu. Semisal kita lihat gelas dalam ruangan, materi terkecil pada gelas masing-masing adalah individu, namun gelas pun adalah individu, jika dipandang ruangan yang didalamnya ada gelas, itupun individu. Alam semesta adalah individu, setiap bagian terkecil dari alam, masing-masing adalah individu. Jadi, individu tidak lagi dibatasi oleh batas-batas partikular maupun universal. Begitu juga individu sudah tidak dibatasi oleh bentuk dan materi apapun karena setiap bentuk dan materi adalah individu. Disinilah karakter wujud yang tidak lagi terikat dan terpengaruh dengan segala persepsi baik indra maupun imaji.
Jadi, hipotesis ke 2 bahwa wujud subtantif yang hadir pada kita adalah individu itu sendiri. Jika wujud subtantif adalah Tuhan, maka dalam setiap maujud disitulah kita dapat menyaksikan Tuhan.
Kita pahami, kita berhubungan dengan setiap individuasi. Tidak ada satupun dialam ini dari segala sesuatu yang bukan individu. Jika pada capaian akal aktual kita secara huduri kita menemukan bahwa setiap apapun dari segala hal yang kita persepsi berakhir pada individu, dan individu itulah yang sebenarnya hakiki , maka sebenarnya segala hal yang kita lihat banyak dialam, itu adalah tunggal, yaitu individu dari Tuhan, Yang benar-benar ada hanyalah satu yaitu DiriNya. Dari yang awalnya kita mempersepsi hal-hal yang ada secara fisik (dan kita memiliki kemungkinan untuk mempersepsi segala hal) kita akan sampai bahwa sebenarnya segala hal adalah tiada, karena segalanya adalah DiriNya yang satu.

Wallohu a’lam bi shawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SHOLAWAT MIRQOTUL MAHABBAH

Doa Rabithah

Seperti Sebatang Lilin