Membangun Basis Keadilan Diri (Respon Cerdas Pelajar terhadap Fenomena Keumatan)
DISKOTEH (Diskusi Karo Ngeteh ) #2
Tema : Kata - Konsep - Realita sebagai Basis Penilaian
Judul: Membangun Basis Keadilan Diri
(Respon Cerdas Pelajar terhadap Fenomena Keumatan)
========================================================================
(Respon Cerdas Pelajar terhadap Fenomena Keumatan)
========================================================================
Oleh : Eka Rofiyani
(Kabid Kaderisasi Pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia (PII) Yogyakarta Besar)
(Kabid Kaderisasi Pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia (PII) Yogyakarta Besar)
Bismillaahirrahmaanirrahiim..
Allohumma Shalli ‘alaa Sayyidina Muhammad wa ‘alaa aalii Sayyidinaa Muhammad..
Membahas basis artinya kita sedang meletakan dasar-dasar yang akan kita gunakan ketika kita menilai realitas sehingga kita mampu untuk adil. Kita sedang meletakan basis-basis keadilan yang berawal dari dalam diri kita. Dengan basis inilah kemudian kita akan memandang dan menilai sesuatu (realitas). Setidak-tidaknyaaketika kita mentasdiq (mendoktrin/menilai) sesuatu, kita memiliki basis pijakan atau dalam bahasa sederhana, kita dalam merespon sesuatu itu ada dasarnya.
Mendudukan makna basis/dasar ini artinya mendudukan sesuatu yang tetap. Dimana berbagai hal-hal terbatas melekat padanya secara tak terbatas. Namun, sebanyak apapun peletakan itu, dasar tidak akan terpengaruh atau berubah. Peletakan-peletakan itu hanya mengalir, ada dan meniada diatas basis itu.Ibarat perubahan air dari panas menjadi hangat, kemudian menjadi dingin dan jadi sangat dingin, disini air tetaplah 2H+ + O2.
Basis ini bersifat sederhana,jika basis sudah diterima, maka basis tidak akan menjadi pintu perdebatan. Satu-satunya pintu perdebatan dan kerumitan yang muncul adalah pada hal- hal yang diletakan padanya. Semisal ketika kita telah menerima dasar bahwa air adalah molekul dari 2H+ dan O2 maka hal ini kita tidak akan perdebatkan dan tidaklah rumit. Yang menjadi rumit dan seringkali menjadi bahan perdebatan ketika panas diletakan pada air. Disana akan banyak pertanyaan dan kemungkinan untuk didebat, misal apa sebabnya panas? Untuk apa air panas? Apakah sesuai kadar panasnya?Apakah benar bahwa air panas itu seperti ini? Baikah digunakan oleh seseorang?
Hal-hal yang diletakan pada basis memang rumit dan memerlukan analisis agar objektif. Sedang basis itu bersifat sederhana. Oleh karena itu,kita harus clear pada sisi yang sederhana ini sehingga ketika menemukan hal yang rumit, dapat kita kembalikan ke hal yang lebih sederhana. Begitulah kita mendudukan posisi basis sebagai satu dasar berpijak yang segala peletakan dapat kita kembalikan kepadanya.
Basis yang akan kita bangun untuk menuju diri yang adil sebagai respon cerdas pelajar terhadap fenomena keumatan akan bertumpu pada pendekatan kata - konsep - realitas.
Titik pertemuan antara kata dan realitas adalah konsep. Kata memiliki banyak ambiguitas, sedangkan tidak dengan realitas. Realitas berada diluar diri kita dan dia tunggal berdiri sendiri sebagaimana dirinya. Sedangkan kata berada diluar diri kita sebagai wujud lafdzi/ eksistensi verba dengan banyak makna. Dan antara realitas dan kata yang sama-sama eksis ini,berhubungan dengan sesuatu yang ada dalam diri manusia yaitu konsep. Antara kata dengan realitas tidak dapat berhubungan langsung, namun juga tidak terpisah. Realitas dapat berhubungan langsung hanya dengan konsep lewat jalur persepsi. Kemudian konsep itulah yang diturunkan dalam kata. Sedangkan untuk “menjelaskan” realitas kita menggunakan kata. Bukan dengan konsep. Dalam dunia yang berbahasa ini, konsep tidak akan tersampaikan tanpa melalui kata.
Antara realitas yang tetap dan kata yang banyak makna ini seringkali menimbulkan kekacauan. Meskipun pada hakikatnya hubungan kata adalah dengan konsep, sedangkan kata tidak berhubungan langsung dengan realitas, namun untuk menyampaikan realitas kita menggunakan kata.Masalahnya adalah, kata seringkali lebih cepat muncul dan lebih cepat ditangkap dari pada konsep. Sehingga seringkali orang terjebak memandang bahwa kata adalah manifestasi dari realitas. Kata lah yang menujukan realitas. Lewat kata, kita menilai bahwa itulah realitasnya. Padahal kata adalah manifestasi dari konsep, bukan realitas.
Akan sangat berbahaya ketika kata langsung di tasdik/dinilai sebagai realitas. Karna banyak keambiguan pada kata. Kata dalam bahasa semua bersifat equivokasi (satu kata banyak makna, atau satu makna banyak kata) bukan univokal (kata sesuai dengan makna yang sebenarnya).
Sebagaimana struktur yang ada, maka kata haruslah dikembalikan ke konsepnya. Apa konsep dari pemilik kata terhadap apa yang dikatakan? Apa sebenarnya konsep dibalik suatu kata? Sehingga kita akan membawa kata-kata yang equivok menuju univokasi agar objektif. Disinilah letak “keadilan pertama” kita dalam menilai.
Kemudian ketika kita mengembalikan kata ke konsep, kita akan mendapati bahwa terkadang masih ada kerancuan didalamnya. Secara realitas kata memang satu, namun secara konsepsi, akal dapat membaginya bahwa satu kata itu dapat memuat 3 dimensi konsep yang berbeda. Yang mana, ketika kita berdebat dalam dimensi yang berbeda, maka perdebatan pun tidak akan pernah bertemu titik temunya.
Ketika kita mengembalikan kata ke konsep, maka kembalikan kata itu kepada pemilik kata dan kata sebagaimana dirinya (dalam arti dimensi konsep yang relevan).Ada 2 kemungkinan sebab terjadinya ambiguitas / kerancuan terjadi ketika kita menerima satu kata (informasi).Kemungkinan pertama adalah kita menganalisis kata itu dengan konsep kita, bukan “apa yang dimaksud dibalik kata orang yang mengatakan kata itu”. Kemungkinan kedua adalah karena kita menganalisis satu konsep dengan dimensi konsep yang berbeda. Ketika kita dapat mengembalikan kata kepada konsep yang relevan, disitulah letak “keadilan kedua” kita dalam merespon suatu kata.
Dimensi konsep : konsep mahiyah, konsep filsafat, dan konsep logika, bisa dibaca di bintussani.blogspot.com terbitan Senin, 27 Maret 2017 dengan judul Titik Kehampaan Seorang Hamba : Refleksi dimensi konsep dalam buku Daras Filsafat Islam Prof. M.T Misbah Yazdi.
Mengutip dari Ibnu ‘Arabi bahwa konsep itu memang tereduksi oleh kata,dalam artian kata memang akan membatasi makna, kita memang akhirnya harus benar-benar berhati-hati dalam berkata, bahkan jika tidak bisa berkata yang baik, lebih baik diam. Baik dalam tinjauan filsafat tentunya mempunyai konsep yang jelas dan tidak menyebabkan ambiguitas sehingga yang keluar darinya adalah kemashlahatan,bukan kekacauan.Demikian juga ketika kita sebagai pihak yang menerima kata-kata juga harus berhati-hati dalam memberikan penilaian dan pemaknaan terhadap kata-kata yang diterima agar tidak terjebak dalam ketidakadilan.
Namun meskipun kata-kata itu menyempitkan dan rumit (tapi kita juga membutuhkanya),saya kira ketika basis ini clear, pelajar tidak akan mudah terombang-ambing oleh berita hoax, propaganda maupun intervensi-intervensi dari kepentingan lain. Pelajar akan lebih cerdas dalam merespon semua berita dan informasi yang mampir ke telinga. Adapun perjalanan untuk sampai kesana masih sangat jauh karena kita membutuhkan bagaimana struktur untuk mengkonfirmasi yang tentunya itu kompleks dan rumit. Setidaknya basis ini ,jika diterima, akan menjadi suatu yang tetap, yang dapat dijadikan pedoman/tempat kembali dari hal-hal yang kompleks itu.
Wallohu a’lam bi shawab.
Komentar
Posting Komentar