Coba deh jadi Perokok Induktif



Tugas 1 Logika Induksi
Tema : Pemetaan Persoalan Deduksi dan Induksi
Judul : Coba deh jadi Perokok Induktif
Oleh  : Eka Rofiyani
( Santri Logika Induksi Pondok Pesantren Madrasah Muthahhari Yogyakarta)

Bismillahirrahmaanirrahiim….
Allohumma Shalli ‘alaa Sayyidina Muhammad, Wa’ala aalii Sayyidinaa Muhammad…

“Merokok saya mati, tidak merokok pun saya akan mati, jadi lebih baik saya merokok sampai mati”

Ketika pertama kali menemukan di salah satu meja kajian, kata-kata ini cukup membuat saya tertawa kecil dan bertanya dalam diam terkait “siapakah yang memiliki prinsip seperti itu? Mengapa dia berfikir dalam batas itu? Ini bahasa apologi atau bentuk “kepasrahan”?. Kemudian saya berfikir “wah, orang ini sungguh pasrah, namun pasrah yang salah kaprah. Dalam kearifan jawa disebut bener ananging ora pener”
(Mohon maaf jika ada yang merasa sama :D)

Dalam analisis saya, quote itu dibangun dengan kaidah deduktif. Untuk lebih jelasnya mungkin premisnya bisa dituliskan ulang seperti dibawah ini.

Dalil umum/premis mayor : Merokok maupun tidak, pasti akan mati
Dalil khusus/ premis minor : Saya adalah perokok
Kesimpulan : Saya, merokok maupun tidak, pasti akan mati

Sehingga sikap yang diambil antara merokok dan tidak, tentu bagi seorang yang merasakan nikmatnya rokok akan memilih lebih baik merokok sampai mati, toh sama-sama akan mati.
Begitulah memang karakter logika deduksi. Logika deduksi bersandar pada doktrin rasional/logis yang bersifat umum kemudian di terapkan kepada hal-hal yang bersifat khusus untuk kemudian ditarik kesimpulan. Kesimpulan ini tidak membahas tentang apa hubungan antara merokok/tidak merokok dengan kematian, apakah hubungan itu niscaya atau tidak, yang mana jika memang hubungan itu adalah niscaya maka dalil umum itu menjadi satu kepastian yang tidak dapat dihindari dan tidak ada kemungkinan untuk terjadi hal-hal diluar dalil umum yang ada. Artinya, perokok deduktif tidak berurusan untuk mencari pembuktian atau sebab-sebab bagaimana perokok itu mati dan bukan perokok itu mati. Apa yang dia gunakan sebagai dalil umum, tidak perlu untuk dicari fakta-fakta ilmiahnya dialam. Dalil umum/prinsipnya sudah paten sebagai suatu sandaran bersikap.
Tentu kita tidak menolak tentang ini,bahwa dalam kenyataanya memang mau merokok maupun tidak, perokok akan tetap mati. Namun permasalahanya disini adalah bahwa dalil ini mengunci rapat kesimpulan untuk tidak dapat keluar darinya dan logika deduksi mengunci kesimpulannya tanpa bukti-bukti ilmiah. Seorang perokok deduktif hanya cukup bersandar pada dalil bahwa merokok maupun tidak, saya akan mati. Tanpa mencari data-data ilmiah terkait bagaimana proses matinya perokok dan bukan perokok? Bagaimana perbandingan usia harapan hidup diantara keduanya? Bagaimana konsekuensi-konsekuensi yang muncul ketika memilih mati sebagai perokok dan mati sebagai bukan perokok? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak perlu dianalisis ketika memakai logika deduksi, karena dalilnya jelas, yaitu tetap akan mati. Ini adalah pertanyaan-pertanyaan induktif.
Dalam induksi aristotelian, deduksi disebut sebagai induksi yang sempurna. Karena premis mayor/dalil umum deduksi ( yang diambil dari induksi-induksi dari pengamatan ilmiah, namun kemudian ditarik menjadi dalil umum dengan dalil rasional, bukan dalil ilmiah) menjadi rujukan dalam menyusun kesimpulan. Dalam buku Belajar Logika Induksi, Ayatullah Shadra menyebutkan bahwa yang dimaksud induksi tidak sempurna dalam aristotelian adalah ketika kesimpulanya merujuk pada hal-hal yang khusus. Sedang induksi sempurna aristotelian adalah ketika merujuk pada segala sesuatu yang khusus. Meskipun Shadra sendiri tidak sepakat dengan pembagian itu, karna pada hakikatnya, induksi tidaklah sempurna.
Induksi tidak dapat disebut sempurna karna induksi berbasis kepada eksperimen dan observasi dalam berdalil. Sedangkan yang di observasi maupun di uji coba pasti adalah sebagian, bukan keseluruhan. Sedang sebagian tidak mungkin ditarik untuk menghukumi keseluruhan (seperti pada induksi barat yang melakukan generalisasi). Adapun kesimpulan logika induksi adalah dalil umum, namun dalil umum dalam induksi tidaklah sama dengan dalil umum dalam deduksi. Jika dalil umum dalam deduksi diambil dengan generalisasi melalui dalil rasional. Dalil umum pada induksi diambil dari probabilitas matematis dari premis-premis khusus, yang mana premis khusus ini disandarkan pada bukti-bukti ilmiyah/dalil ilmiah. Begitu pula dalil khususnya, dalil khusus pada deduksi yang merupakan kesimpulan adalah hal yang tidak untuk dibuktikan karena dia merujuk pada dalil umum yang sudah paten. Sedang dalil khusus pada logika induksi adalah premis-premis yang perlu dibuktikan dengan eksperimen dan observasi.
Dalil Perokok deduktif bahwa merokok maupun tidak, tetap akan mati memang pasti diambil dari pengamatan sebelumnya.Namun ketika dia memakainya sebagai logika berfikir dan bersikap, dia akan berangkat dari dalil umum itu untuk mentasdiq hal-hal khusus seperti dirinya yang disimpulkan  pasti mati baik merokok maupun tidak. Namun, perokok induktif akan berangkat dari hal-hal ilmiah (dalil khusus/ diri perokok) dengan segala kelengkapan data yang dia amati dan data uji coba pada perokok untuk kemudian menyimpulkan dalil umum dan bersikap .
Pada dasarnya, deduksi dan induksi jika dilepas dari alurnya adalah sama. Masing-masing bertemu pada saya, merokok dan mati. Merokok maupun tidak, saya akan mati. Namun, perbedaan penggunaan alur ini memiliki konsekuensi yang jauh berbeda. Ketika menjadi perokok deduktif, sensitivitas terhadap hal-hal ilmiah baik yang ada sekarang sebagai suatu fakta atau pembuktian, maupun yang mencakup hal - hal kebetulan dan hal- hal kemungkinan tidak cukup terjawab dengan kaidah logika deduksi.
Maksudnya ketika memakai deduksi saja, perokok akan menutup diri dari fakta-fakta ilmiah yang ada karena telah tunduk pada satu dalil umum. Dia tidak akan mencari bagaimana fakta-fakta orang yang merokok dan tidak secara ilmiah. Kemudian ketika ada fenomena kebetulan relatif, semisal ada bayi yang baru beberapa jam hidup kemudian bayi itu meninggal.Secara ilmiah memang tidak ada hubungan kausalitas antara merokok dan bayi, namun secara kebetulan merokok dan bayi bertemu dalam satu subyek yaitu ibu yang melahirkan. Tidak dapat kita temukan hubungan kausalitasnya bukan berarti ini adalah kebetulan mutlak (tidak ada sebabnya bayi mati). Kita menolak kebetulan mutlak bahwa bayi mati hanya kebetulan murni, tanpa adanya sebab. Sebab ini tidak dapat ditemukan/terjawab hanya bersandar pada dalil umum. Kita harus membawanya ke ranah induksi untuk menjawab mengapa ada kebetulan bayi mati pada proses melahirkan oleh ibu yang merokok.
Satu lagi mengapa kita tidak cukup bersandar pada dalil deduksi adalah terkait hal-hal kemungkinan. Logika deduksi dengan kesimpulan yang tidak mungkin keluar dari dalil umum, tidak dapat menjawab kemungkinan-kemungkinan yang dapat muncul. Semisal, merokok maupun tidak, perokok pasti mati ,sebagai dalil umum tidak cukup menjawab kemungkinan yang dapat muncul 1 juta tahun kemudian ketika ada kemungkinan merokok maupun tidak merokok manusia tidak mati. Atau agar lebih dapat diterima, misal merokok maupun tidak merokok manusia tetap akan berusia 90 tahun lebih (artinya memiliki konsekuensi yang sama antara merokok dan tidak). Sebagai kemungkinan hal itu mungkin saja terjadi. Namun, dengan kaidah deduksi yang sudah pasti-pasti itu, kemungkinan menjadi hal yang tidak terfasilitasi. Yang membuka kemungkinan-kemungkinan dan kebetulan relatif adalah kaidah logika induksi karena disana sebab ilmiah dari suatu fenomena benar-benar bertemu denar dicari secara khusus, Bahwa Logika induksi tidak menolak kausalitas rasional bahwa setiap akibat pasti memiliki sebab, namun sebab-akibat itu harus benar-benar bertemu dan dibuktikan secara ilmiah.Seperti tadi, misal perokok mati atau bayi mati, maka urusan induksi adalah benar-benar mencari dan membuktikan sebab dari kematian itu, barulah dia bisa berdalil. Dan karena berangkat dari hal-hal khusus maka kesimpulannya akan penuh dengan muatan yang memiliki nilai akurasi yang lebih besar dari pada ketika menggunakan logika deduktif.
Kita lihat pada kasus perokok. Ketika dia mencoba menjadi perokok induktif. Maka dalil “merokok maupun tidak akan tetap mati” tidak serta merta menjadikanya bersikap “lebih baik saya merokok sampai mati”. Masih ada fakta-fakta yang harus dikaji dan masih banyak harapan-harapan yang mungkin dapat diusahakan demi kualitas kehidupan yang lebih baik dari pilihan antara merokok atau tidak, tentunya berdasarkan pada dalil-dalil ilmiah. Kualitas kehidupan lebih baik yang tidak akan pernah diketahui seorang perokok jika dia terus menerus terbuai dalam tempurung deduksi.
Jadi, akan lebih ketika perokok menggunakan alur induksi.
Selamat terbuka….
Selamat optimis….
Selamat Realistis….
Songsong kehidupan dengan kualitas yang lebih fantastis….

Wallohu a’lam bi shawab…



Komentar

Postingan populer dari blog ini

SHOLAWAT MIRQOTUL MAHABBAH

Doa Rabithah

Seperti Sebatang Lilin