Titik Kehampaan Seorang Hamba : Refleksi dimensi konsep dalam buku Daras Filsafat Islam Prof. M.T Misbah Yazdi
(Santri Ontologi Filsafat Pondok Pesantren Mahasiswa Madrasah Muthahhari - Yogyakarta)
Bismillahirrahmaanirrahiim....
Allohumma Shalli 'alaa Sayyidinaa Muhammad, Wa 'alaa aalii Sayyidinaa Muhammad
Muqaddimah :
Manusia sebagai makhluk dengan keniscayaan pengetahuan yang dimiliki, dalam penjelasan sekecil apapun dan sesederhana apapun pasti berlandaskan pada konsep yang dia miliki. Konsep yang lahir dari hubungan antara pahaman dan interaksi dengan alam ini menjadikan manusia memiliki satu sandaran yang dijadikan sebagai argumentasi juga dasar dari tindakan dan cara-caranya menjalani hidup.
Dalam kenyatanya, adakalanya konsep-konsep itu memberi konsekuensi yang berbeda-beda bagi tiap penganutnya.Seorang hamba, dalam penghambaanya pasti memiliki konsep terhadap apa yang dia sembah.
Tulisan sederhana ini, sebagai tugas 3 sesi pertama kajian, akan sedikit menarik refleksi bagaimana Tuhan dalam masing-masing dimensi konsep. Bahwasanya ada satu titik dimana manusia mampu berbicara dengan sangat masuk akal terhadap suatu hal, namun pada hakikatnya konsep itu berkonsekuensi tak memiliki nilai apapun.
Deskripsi dan Analisis:
Pembahasan filsafat adalah membahas sesuatu yang ada (Eksistensi). Keberadaan melekat pada satu manifetasi dalam sebuah kesatuan realitas yang tak terpisah - pisah. Ketika kita bersentuhan dengan ke’apa’an suatu objek, akal mampu menyingkap apa yang ada dibalik ke’apa’an tersebut, yaitu dapat menangkap tentang eksisnya suatu keber’ada’an. Artinya ketika kita memegang spidol, kita tidak hanya sekadar memegang spidol, namun kita mampu memaknai bahwa kita sedang memegang satu keberadaan yang nyata, akal bisa menangkap makna-makna dibalik spidol.
Dalam pembahasan konsep, kita telah mempelajari dalam falsafatuna bahwa hadirnya satu konsep tidak terlepas dari hubungan antara alam menuju rasio sebagai alat. Kemudian rasio sebaga alat menarik satu pengetahuan niscaya untuk turun menghadirkan satu konsep yang pasti. Proses itu melahirkan dimensi konsep dengan karakteristik yang berbeda. Akal dalam tataran konsep (dalam memandang satu realitas) memandangnya bukan sebagai satu kesatuan konsep yang tidak terpisah, akal mampu membaginya dalam 3 dimensi konsep yaitu konsep mahiyah, konsep logika, dan konsep wujud.
Adanya dimensi konsep dalam memandang satu buah realitas yang seringkali menuai perbedaan. Sebagamanai dalam memandang realitas 2x2,
konsep mahiyah mengatakan 2 pensil + 2 buku = tidak bisa ditambahkan
kosep wujud mengatakan 2+2 = ada.
konsep logika mengatakan 2x2 = 4,
Berangkat dari analogi itu akan coba kita kenali karakteristik masing-masing dimensi konsep.
Konsep Mahiyah adalah konsep yang mampu dipersepsi akal dalam wilayah hubungan alam dengan rasio sebagai alat. Dalam pembahasan falsafatuna, konsep mahiyah setara dengan konsep primer, oleh karena itu konsep mahiyah ini menunjuk pada hal-hal partikular dialam.. Dalam pembahasan gerak subtansial, konsep mahiyah ini senantiasa mengalir dalam perubahan-perubahanya, oleh karena itu konsep mahiyah ini tidak melekat secara hakiki dalam satu objek, konsep mahiyah dapat hancur dan berubah. Konsep mahiyah adalah konsep tentang esensi/ke’apa’an suatu objek. Konsep mahiyah menjelaskan adanya perbedaan bahwa buku, tidak sama dengan pensil. Dalam pembahasan lebih sensitif, konsep mahiyahlah yang membedakan antara Allah dan Yesus. Muslim berbeda dengan non muslim, Islam berbeda dengan kristen. Oleh karna itu 2 pensil+2 buku tidak akan pernah bisa disatukan karna dalam realitas objektifnya masing-masing memiliki esensi (konsep mahiyah) yang berbeda. Konsep mahiyah ini adalah pihak yang disifati oleh konsep Wujud.
Konsep mahiyah tidak akan pernah dapat disifati (disebut ke apa anya) jika tanpa keberadaan sebelumnya. Sebelum disifati, alam sebagaimana adanya tidak ada perbedaan, akal kita lah yang membuat batasan-batasan, bahwa buku bukanlah pensil. Sebelum disifati yang ada dialam ini semuanya adalah ‘ada’.Tidak ada perubahan, tidak ada perbedaan dan tidak hancur (selalu ada). 2 apapun + 2 apapun = semua itu adalah sesuatu yang ada. Allah maupun Yesus itu adalah shifatan kita terhadap Tuhan, itu berdiri dalam tataran mahiyah. Namun Tuhan sebagaimana Tuhan itu melingkupi sebagaimana keberadaan. Dia dapat mensifati apapun namun dia sendiri bukanlah seperti apa yang dishifatkan. Dia melekat pada buku, dia melekat pada pensil, namun dia sendiri bukan buku dan pensil. Sehebat apapun Tuhan dalam persangkaan kita, itu adalah konsep kita tentang Tuhan,bukan Tuhan itu sendiri. Pada akhirnya kita tidak akan tahu apa-apa tentang Tuhan karna Tuhan bukanlah ‘apa’, Tuhan adalah Wujud (ada), Qidam (mendahului esensi), Mukhalafatul lil Hawadisih (berbeda dengan segala manifestasi/ke ‘apa’an/ makhluk), qiyamuhu binafsihi (ada berdiri sendiri dan tidak berubah tidak sebagaimana ke’apa’an yang membutuhkan ada untuk dapat disebut apa, dan berubah pada setiap gerak subtansinya), dan lebih dekat dari urat nadi sebagaiman ‘ada’ yang tidak akan terpisah dari ‘apa. Namun, sebagaimana ada dan apa dapat kita temukan realitasnya secara objektif dialam, maka di alamlah kita dapat menemukan Keberadan-Nya yang hakiki, dan melekat pada seluruh makhluk baik muslim maupun non juslim, baik orang sholih maupun tholih, baik pezina maupun ahli ibadah. Semua melekat pada keberadaan_Nya. Jika kita menemukan Tuhan, maka segala jenis perbedaan akan kita pandang sebagai satu mahiyah saja, hanyalah definisi-definisi saja. Tuhan sebagaimana Tuhan.
Konsep mahiyah dan wujud, masing-masing memiliki realitas/ penampakan di alam. Dalam tahap pertemuan ketika alam menuju rasio sebagai alat, kemudian keniscayaan turun dari rasio sebagai sumber juga menuju rasio sebagai alat, di titik itu terdapat satu dimensi konsep yaitu konsep logika. Konsep logika adalah konsep yang tidak memiliki acuan / tidak memiliki penyifatan objektif di alam. Dia murni atribut mental untuk menjelaskan hubungan antar sesuatu, namun atribut itu bukanlah dirinya sendiri, dia hanya menjelaskan. Sebagai contoh dalam konsep logika jelas bahwa keseluruhan lebih besar dari pada sebagian, namun ‘keseluruhan’ dan ‘bagian’ tidak memiliki acuan di alam. 2 x 2 = jelas 4, tapi mana 2 sebagaimana 2 dialam? Mana 4 sebagaimana 4 dialam? Inilah dikatakan bahwa konsep logika tidak memiliki acuan di alam. Konsep logika hanya dapat dijelaskan ketika dia melekat pada konsep mahiyah dan konsep wujud yang real dialam. Nah, bagaimana jika konsep logika ini tidak selaras dengan realitas mahiyah dan wujud? Apakah konsep logika itu dapat dipertahankan?
Bagaimana rasa hampa itu hadir dalam renungan seorang hamba? yaitu jika dia menemukan bahwa konsep Tuhan yang selama ini dianut hanya berdiri dalam tataran mahiyah atau logika.
Ditengah keyakinanya bahwa Tuhan adalah milik segala makhluk, namun seorang hamba menemukan banyak perbedaan-perbedaan. Ditengah keyakinanNya dia menemkan banyak darah-darah tercecer, nyawa-nyawa terlepas dengan sebab perbedaan-perbedaan dalam tataran mahiyah.Ternyata karena berhenti dalam tataran konsep mahiyah sedangkan realitas mutlak melekat pada diriNya sebagaimana adanya dalam realitas wujud.
Sebagaimana Ali bin Abi Thalib berkata bahwa beliau tidak akan menyembah Tuhan yang tidak terlihat. Hampa itu hadir, ketika ditengah keyakinanya yang menggebu-gebu, seorang hamba menemukan bahwa Tuhannya selama ini adalah konsep-konsep logis namun belum pula menemukan keselarasan dengan alam. Tuhan hanya sembahan yang diagungkan akal,Tuhan hanya konsep logis yang menenangkan hati-hati para penghamba., bukan realitas nyata yang jelas nampak dimata, sebagaimana TuhanNya Ali.
Kesimpulan :
Dalam satu realitas disana terdapat 3 konsep yang berlaku, yaitu konsep logika, konsep wujud dan konsep mahiyah. Ketika kita menjelaskan sesuatu, kita tidak boleh berhenti hanya pada satu dimensi konsep saja. Penjelasan kita harus lengkap mencakup ketiga konsep yang selaras, kita tidak bisa hanya berhenti ketika mampu menunjukan realitas dan perbedaanya (secara konsep mahiyah),atau berhenti pada penjelasan-penjelasan logis tanpa adanya objektifikasi pada realitas yang nampak (secara konsep logika), selain real dan logis kita juga harus mampu menemukan hal paling subtansi/eksisten dari hal paling logis dan hal paling real sekalipun.
Khatimah :
Demikian sedikit yang saya catat dan pahami, jikapun bahasa yang digunakan lebih mirip akademisi dibanding seorang filosof, jikapun membosankan dan terlalu panjang (sebagai status facebook) semoga tetap berkenan dijadikan bahan ukur terhadap capaian pemahaman dalam standart indikator yang ditetapkan
Wallohu a'lam bi shawab..
Komentar
Posting Komentar