JAUH (namun) TAK TERPISAH,DEKAT (namun) TAK TERJAMAH
Tugas 3 Ontologi Filsafat
Tema : Aku, Ontologi dan Tuhan
Judul : Jauh (namun) tak Terpisah, Dekat (namun) tak Terjamah
(Refleksi dari buku Tafsir Sufi - Musa Kazhim dan penjelasan beberapa BAB dalam buku Daras Filsafat Islam - Prof. M.T. Misbah Yazdi)
==========================================================
Oleh : Eka Rofiyani
(Santri Ontologi Filsafat Pondok Pesantren Mahasiswa Madrasah Muthahhari - Yogyakarta)
Bismillahirrahmanirrahiim..
Allohumma Shalli ‘alaa sayyidina Muhammad, Wa ’ala aalii sayyidina Muhammad
MUQADDIMAH:
Jiwa manusia yang membuatnya mampu memaknai hidup tidak terlahir bersamaan dengan kelahiran raga. Jiwa manusia terbentuk seiring dengan gerak subtansialnya menuju kesempurnaan. Dari raga yang hanya bergerak dengan dasar naluri dan insting belaka, menuju raga berjiwa berpengetahuan dan sadar. Manusia diberi keistimewaan untuk meningkatkan kemampuan dalam menerima potensi kesempurnaan ini dalam batas tak terhingga. Artinya manusia mempunyai potensi untuk terus dan terus bergerak mendekati kesempuranaanNya yang tak terbatas pula. Laksana cahaya yang meningkat dari remang menuju terang dan semakin terang, namun seterang apapun dia tetaplah pancaran yang mendekati sumber, bukan sumber dari segala pancaran itu sendiri.
Dalam pembahasan tentang keyakinan akan Tuhan, Kesadaran dalam pemaknaan terhadapNya pun tidak serta merta lahir bersamaan dengan lahirnya raga. Setiap hari bagi jiwa-jiwa yang memaknai, pemaknaan akan Tuhan terus bergerak menuju pemaknaan yang lebih sempurna dari sebelumnya.
Perlu digaris bawahi bahwa pemaknaan disini adalah pemaknaan terhadap sisi tasybih Tuhan. Bukan dalam sisi tanzihNya yang takan pernah mampu kita jangkau definisi maupun pemaknaan hakikinya. Meskipun ketika kita memaknai bawa sisi tanzih Tuhan tidak akan mampu kita maknai pun adalah sebuah pemaknaan, untuk menghindari ambiguitas maka bagian ini tetap digaris bawahi.
Pembahasan ini adalah satu langkah naik menuju satu pemaknaan yang lebih dari sebelumnya. Melalui konsep ontologi akan coba kita cari “hubungan” antara aku dan Tuhan.
DESKRIPSI DAN ANALISIS
Dalam realitas terdapat eksistensi (keberadaan) dan esensi (keapaan). Pembahasan epistemologi mengantarkan kita pada adanya satu eksistensi (non materi) yang membersamai dan tak terpisah dengan materi (esensi). Dalam hubungan tak terpisah ini kita hendak mengenali eksistensi dari eksistensi itu sendiri. Semisal dalam satu ruangan terdapat meja yang diatasnya terdapat gelas, buku,bunga dan lainya. Kemudian kita hendak mengenali eksistensi meja dalam ruangan tersebut. Jadi, dari satu realitas yang terdapat ‘ada’ dan ‘apa’, kita hendak mengenali hakikat dari keberadaan/eksistensi.
Ontologi adalah ilmu tentang keberadaan. Ilmu yang membawa kita untuk mencari hakikat dari segala sesuatu yang ada atau sesuatu sebagaimana adanya. Secara sederhana, jika falsafatuna kita berangkat dari hal-hal material kemudian mengantarkan kita sampai kepada hal-hal non material, dalam ontologi kita berangkat dari hal-hal non materi untuk mengantarkan kita pada sesuatu yang hakiki. Konsep-konsep yang terbangun dengan kaidah epistemologi akan kita tarik ke dalam ontologi (hakikat dari apa yang kita konsepsi). Pembahasan ontologi meliputi Hakikat keberadaan / eksistensi (wujud) yang dicerminkan oleh pola penampakan (aksiden/maujud) dan hubungan antar wujud.
Keberadaan/ eksistensi dapat ditinjau dari dua analisis. Yaitu analisis universal dan analisis partikularnya. Analisis universal yaitu ketika eksistensi/wujud tidak berhubungan dengan mahiyah. Secara realitas di alam mungkin kita memang tidak akan pernah dapat memisahkan antara wujud dan mahiyahnya. Namun akal dapat meninjau secara terpisah kemandirian wujud. Analisis universal dari eksistensi adalah memandang wujud sebagaimana wujud. Ada sebagaimana ada. Semisal ada buku, ada pensil, ada pewarna. Maka kita lepaskan buku, pensil dan pewarna sehingga kita hanya memandang ada sebagaimana ada.
Dalam bahasa sufi, ini disebut wujud mutlak. Wujud mutlak ini dapat melekat pada segala mahiyah sebagaimana ada dapat diterapkan di pensil, pewarna, buku dan ke segala hal tanpa batas. Ketakterbatasan ini lebih dapat dilihat dalam permisalan himpunan. Jika x adalah himpunan angka, maka angka itu tidak akan pernah kita temui awal dan akhirnya, jika matematika mengatakan awal dari angka adalah 0, secara filosofis sebelum angka 0 ada yang mendahuluinya dan pendahulunya itu tidak terbatas. Begitu juga dengan akhirnya, akhir dari angka tidak ada yang dapat membatasi. Tidak ada yang dapat menyebutkan berapa nilai terkecil dan nilai terbesar dari suatu angka. Jika kita membatasi x pada satu nilai angka, maka dipastikan itu bukanlah x, namun bagian dari himpunan x.
Jika kita membatasi x sama dengan satu nilai angka, itu artinya kita membatasi wujud mutlak dalam satu definisi partikular. Oleh karena itu wujud mutlak tidak mungkin didefinisikan. Karena setiap definisi pasti membatasi sedangkan wujud mutlak tidak terbatas. Proposisi bahwa wujud mutlak tidak mungkin didefinisikan memang adalah sebuah definisi juga, namun definisi ini mengarahkan pada negasi dari definisi tersebut yaitu tidak terdefinisi.
Bagaimana hal yang tak terdefinisi dapat diketahui? Wujud tidak memerlukan definisi untuk diketahui. Sebagaimana kita tidak memerlukan usaha apapun untuk mengetahui bahwa kita ada. Dalam kerangka tasawur(konsepsi) pengetahuan tentang keberadaan diketahui secara huduri, yaitu kehadiran. Kehadiran wujud tidak diperlukan perangkat apapun selain kesadaran, sedangkan manusia adalah jiwa yang sadar. Ini disebut sebgai keswabuktian wujud.
Wujud membersamai segala mahiyah oleh karena itu wujud diartikan dengan ‘segala sesuatu’. Karna ada tidak memiliki negasi. Jika disebutkan negasi ada adalah tidak ada, maka ketiadaan itu pun adalah sesuatu yang non eksisten sehingga tidak bisa dijadikan negasi. Jadi, segala sesuatu itu ada. Artinya, wujud mutlak tidak memiliki bandingan karna tidak ada yang lain selain dirinya.
Analisis partikular dari keberadaan adalah maujud. Yaitu ketika wujud berhubungan dengan mahiyah, maka wujud menjadi maujud. Jika wujud adalah keseluruhan Eksistensi , maka maujud adalah eksistensi yang melekat pada satu esensi. Contoh ketika ‘ada’/wujud berhubungan mahiyah buku, maka ‘wujud’, maujud sebagai adanya buku. Hal ini bukan berarti wujud memberikan kemaujudan pada buku sehingga buku menjadi maujud (buku menjadi ada). Yang subtansi disini adalah hubungan. Ketika wujud berhubungan dengan mahiyah maka maujudlah buku. Ketika hubungan itu dihilangkan maka maujud pun hilang, yang ada hanya wujud sebagaimana wujud.
Dari sini kita dapat melihat bahwa hubungan antara wujud mutlak (eksistensi/keberadaan universal) dan mahiyah (esensi/keapaan) dalam satu realitas adalah kemaujudan dari realitas itu sendiri. Maujud begitu tergantungnya dengan hubunganya dengan wujud mutlak, tanpa bersamanya maka maujud itu hilang, keluar darinya maujud itu tiada, namun daya upaya apaun ketika wujud mutlak telah berkehendak untuk berhubungan dengan mahiyah, maujud secara niscaya bergantung dan tak terpisah dari wujud mutlak, sekalipun dia menginginkan keterpisahan, sebaliknya maujud tak akan mampu menjamah wujud sebagaimana wujud, karena maujud terikat dengan mahiyah, ketika maujud ingin menuju wujud mutlak dan melepas mahiyah, maka maujud pun juga akan hilang dan menemukan ketidaan dirinya. Sebagai permisalan buih yang ingin menjamah lautan atau buih yang ingin terpisah dari lautan. Bagaimana mungkin ketika buih berjalan dikeduanya dia pun akan meniada sebagai buih. Satu-satunya pilihan bagi buih untuk tetap maujud adalah dia tidak dapat terpisah dari lautan namun juga tak akan mampu menjamah, memahami, mendefinisi lautan sebagaimana lautan.
Dalam bahasa yang lebih sederhana maujud adalah manifestasi atau pancaran dari wujud. Keberadaan spidol adalah manifestasi ada sebagaimana ada (Wujud mutlak).
Dalam bahasa teologi, wujud mutlak yang tak terdefinisi, tek terbandingkan, membersamai segala sesuatu, tempat bergantung, awal dan akhir itu adalah Tuhan. Ketika Tuhan berkehendak berhubungan dengan mahiyah maka itulah penciptaan.
Maujud adalah segenap hasil hubungan kehendak Tuhan untuk mencipta, yaitu ciptaan. Maujud/ciptaan adalah penampakan (tajalli) dan manifestasi dari keberadaan dirinya.
Wujud mutlak adalah Tuhan dalam sisi tanzih yaitu sisi tak berbanding, tak terdefinisi. Inilah yang Dia katakan “ Mahasuci Tuhanmu, Tuhan Keagungan (yang tak terjangkau) oleh apa-apa yang mereka shifatkan “(Q.S. As-Shaffat : 180). Dalam menentukan batas nilai terbesar angka saja kita tidak mampu menjangkau, apalagi menjangkau yang Maha tak terbatas. Inilah yang dimaksud Rosulullah agar kita membicarakan segala hal, namun jangan membicarakan Dzat Allah. Karna kita buih yang terbatas tak akan mampu menampung samudra yang begitu luas tak terbatas.
Cara paling mungkin mengenal Wujud mutlak ialah dengan dengan meminta kepada_Nya untuk memperkenalkan Diri_Nya. Agama adalah wilayah pengungkapan ilahi. Wujud mutlak memperkenalkan diri_Nya dalam tektual Al-Qur’an dengan perumpamaan dan tanda /ayat yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Melalui asma dan shifatnya. Atau melalui maujud-maujudnya. Maujud yang berupa maujud ruhani dan materi, baik ciptaan maupun asma dan shifatNya. Ini disebut sebagai sisi tasybih Tuhan.
Sisi tanzih dan tasybih Tuhan bukanlah kontradiksi. Sisi-sisi ini selalu berjalan bersamaan namun kejadianya tidak menyatu.
Yang perlu digaris bawahi adalah hubungan antara sisi tasybih dan tanzih Tuhan. Hubunganya adalah sisi tasybih adalah penampakan dari sisi tanzihnya. Sejauh apapun kita dapat mencerap sisi tasybihnya, kita tidak dapat mencerap sisi tanzihnya karna sisi tasybih adalah apa-apa yang diumpamakan Dia atas Dirinya. Apapun yang kita hadapi dan kita pikirkan adalah ciptaan dan penampakan_Nya.
Maujud yang kita lihat ada buku, ada manusia, ada hewan, ada binatang, ada Tuhan. Dari sisi maujudnya sama bahwa semua sama-sama wujud. Namun dilihat dari sisi mahiyahnya buku tidaklah sama dengan manusia, tidak sama dengan hewan dan Tuhan. Setelah kita menemukan sisi yang tak terpisah antara kita dan Tuhan, ada juga sisi yang tak terjamah yang membedakan antara manusia dan Tuhan, membedakan antara manusia dengan hewan. Hal ini terjawab dengan teori gradasi wujud. Bahwasanya maujud Tuhan adalah sama dengan wujud, sedangkan maujud manusia ada dibawahnya, begitu juga dengan hewan dan tumbuhan. Ibarat cahaya, diumpamakan sumber cahaya adalah Tuhan, maujud cahaya Tuhan adalah cahaya itu sendiri. Sedangkan manusia, hewan, tumbuhan dll adalah pancaranya. Pancaran cahaya memiliki tingkatan dari terang menuju remang hingga gelap, tingkatan itu tidak memiliki batasan (kita tidak dapat membatasi batas gelap dan batas terang). Seperti lampu yang terdiri dari 1 watt, 5 watt, 100 watt sampai tak terbatas batas keremangan, kegelapan dan keteranganya. Setiap makhluk/ciptaan diberi potensi kesempurnaan yang sama dalam arti semua adalah pancaran cahaya. Namun makhluk memiliki kemampuan yang berbeda dalam mencerap kesempurnaan itu. Semisal lampu kapasitas 5 watt tidak akan mampu mencerap cahaya 100 watt karna ketika dia mencerapnya, eksistensi 5 watt akan sirna. Sebagaimana hewan yang kapasitasnya berbeda dengan tumbuhan dalam menerima potensi gerak yang sempurna. Hewan lebih mampu menerima kesempurnaan yang dipancarkan Tuhan dalam bergerak daripada hewan.
Manusia diberi keistimewaan dari makhluk yang lain. Jika hewan dibatasi kapasitasnya sebagai hewan. Pada tingkat maujud yang disebut manusia, kemampuan mencerap kesempurnaan fleksible. Oleh karna itu manusia dapat menjadi hewan bahkan lebih rendah dari pada hewan (ulaika kal an’am bal hum a’dhol) atau dapat menjadi wakil Tuhan dimuka bumi yang memimpin seluruh makhluk termasuk manusia sebagai ciptaan paling sempurna.
Manusia diberi potensi untuk mencerap seluruh nama-nama Tuhan yang baik (Asma’ul Husna) melalui gerak subtansialnya (gerak menyempurna). Semakin banyak nama-nama Tuhan yang mampu dia cerap, semakin dekat dia dengan cahaya semakin teranglah dia. Semakin dekat posisinya dengan Tuhan semakin bercahayalah dia. Oleh karena itu, manusia yang mampu mencerap nama dan sifat Tuhan dia akan mampu pula menerangi apa-apa yang ada dibawahnya.
Kita misalkan orang yang mampu mencerap sifat rahiim Tuhan, maka semakin dekat/miripnya sifat rahiimnya dengan sifat rahiim Tuhan, manusia itu akan mampu menjadi orang paling menyayangi makhluk-makhluk yang lain.
Manusia semakin sempurna ketika semakin banyak mencerap nama dan shifatNya.
Begitu pula dalam pemaknaan manusia terhadap Tuhan, manusia memiliki potensi untuk memahami hakikat dari satu penghambaanya terhadap Tuhan. Melalui hal-hal kopulatif (fisik/ tanda dan perumpamaan) yang denganya Tuhan memperkenalkan diri . Kemudian dengan kemampuan manusia dapat menangkap hal-hal dibalik tanda itu (subtansinya). Dari pemaknaan subtantif itu, dapat mengantarkan kita kepada hakikat yaitu penghambaan kepada wujud mutlak yang Esa.
Gerakan ini dijalani melalui syariat, tarikat dan hakikat. Semisal dari kita menjalani shalat lalu kita bertarikat untuk memaknai hal-hal subtantif dibalik shalat dengan pemaknaan itu kita sampai pada hakikat shalat. Orang yang sudah mencapai hakikat tidak akan ragu dan lalai. Karna telah menyatukan antara kebenaran (hakikat dari shalat) dengan kenyataan (bahwa kita disuruh shalat).
KESIMPULAN
Jika kita adalah maujud yang tidak akan pernah mewujud tanpa adanya wujud, sedangkan wujud adalah hal yang tak terbanding, maka hakikat penghambaan manusia adalah kebergantungan kepada yang Esa.
Jika dari kebebergantungan itu adalah penghambaan kita, maka seorang hamba tak kan pernah dapat terpisah dari Tuhanya.
Jika Kebergantungan kita adalah kebergantungan yang terbatas terhadap yang tak terbatas, maka seorang hamba yang terbatas ini tak akan mampu menjamah Dia yang tak terbatas.
Seorang hamba dengan Tuhanya senantiasa tak kan pernah terpisah meski tak terbatas jarak kejauhanya, seorang hamba tak akan pernah menjamah Dia sebagaimana Dia meski tidak pernah ter terpisah. Jauh tak berjarak, dekat tak tersentuh. Jauh tak terpisah, dekat tak terjamah.
Kemudian jika wujud itu melingkupi segala sesuatu, manusia, hewan tumbuhan dan segalanya, apakah kita akan membatasi Tuhan hanya milik manusia? Tentunya segala sesuatu yang maujud tak kan pernah mampu berlepas diri dari Tuhan yang Esa ini. Semua memiliki hak untuk kebenaran, namun bukan berarti semuanya benar.
KHATIMAH
Demikian tulisan ini saya buat sebagai tugas sekaligus jawaban atas keresahan beberapa teman atas tulisan saya sebelumnya.Bahwa memang ada sisi dimana Dia tak kan pernah terjamah dalam capaian akal kita, namun ada juga sisi - sisi yang dengan itu Dia menjelaskan tentang DiriNya (dengan bentuk, tanda dan permitsalan) untuk dikenali oleh segenap ciptaan. Sisi inilah yang dapat kita selami untuk mendudukan makna penghambaan sebagaimana adanya.
Wallohu a’lam bi shawab
Komentar
Posting Komentar